Home
news
Hari Perempuan Internasional: Pandangan dan Ucapan Misoginis dan Seksis Justru Terjadi dalam Forum Terhormat

Hari Perempuan Internasional: Pandangan dan Ucapan Misoginis dan Seksis Justru Terjadi dalam Forum Terhormat

news Sun, 2025-03-09 - 13:01:11 WIB

Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day yang diperingati setiap 8 Maret menjadi momen penting untuk mengapresiasi pencapaian perempuan dalam berbagai bidang serta menggalang dukungan terhadap kesetaraan gender. Tahun ini, tema yang diusung adalah “For ALL women and girls: Rights. Equality. Empowerment” atau “Untuk SEMUA Perempuan dan Anak Perempuan: Hak. Kesetaraan. Pemberdayaan.” Tema ini mengajak semua pihak untuk beraksi dalam mewujudkan hak, kesetaraan, dan pemberdayaan bagi setiap perempuan dan anak perempuan, demi masa depan yang lebih inklusif dan adil bagi semua.

Tidak semua perayaan harus dilakukan dalam bentuk kegembiraan, termasuk di Indonesia yang justru malah diwarnai dengan pandangan misoginis, dan tidak sensitif gender oleh orang-orang yang memiliki kedudukan terhormat sebagai legislatif DPR RI saat ini. Pada Rabu (5/3) lalu, Ahmad Dhani Prasetyo, Anggota DPR RI Komisi X dari fraksi Gerindra, melontarkan pernyataan sebagai berikut, “Bisa juga pemain bola yang sudah di atas 40, itu bisa juga kita naturalisasi pemain bola yang hebat lalu kita jodohkan dengan perempuan Indonesia, nah, anaknya itu yang kita harapkan menjadi pemain yang bagus juga…., banyak pemain yang jago-jago yang udah tua kita carikan istri di sini, lalu anaknya kita bina, Pak,”

Sekilas pernyataan di atas seperti bercandaan yang terjadi di warung-warung kopi, namun naasnya pernyataan tersebut dilontarkan dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR RI bersama Kementerian Pemuda dan Olahraga dan dihadiri Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Reaksi yang terlihat, tampak sebagaian besar hadirin tertawa mendengar usulan Dhani tersebut.
  
Laili Nur Anisah, S.H., M.H., dosen Program Studi Hukum Fakultas Hukum (FH) Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta menyoroti pernyataan tersebut yang bersifat misoginis, yaitu sikap membenci seseorang karena jenis kelaminnya. “Perempuan dilihat sebagai objek reproduksi, menghasilkan anak, menihilkan nilai-nilai kemanusiaan lainnya yang dimiliki. Janda dianggap objek lemah yang harus dinafkahi, diurus dan dilindungi oleh laki-laki,” jelasnya.

Laili, yang juga sebagai Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UWM juga menyebutkan hasil penelitian dari Lembaga Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), “perempuan juga bisa menjadi pemimpin keluarga yang disebabkan oleh banyak faktor misalnya perceraian, kematian maupun ditinggalkan oleh suami. PEKKA juga menjelaskan kepemimpinan perempuan dinilai lebih inklusif dan kolaboratif yakni melibatkan anggota keluarga dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan rumah tangga."

Indonesia sendiri telah meratifikasi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Konvensi tersebut berisi prinsip-prinsip hak asasi perempuan yang diakui juga sebagai Hak Asasi Manusia, juga berisi norma, standar-standar, kewajiban, serta tanggung jawab Negara peratifikasi dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Salah satu pasal menginstruksikan negara peratifikasi wajib membuat peraturan perundang-undangan dengan tujuan menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan serta mendorong akses kesetaraan perempuan dan laki-laki.
 
“Konvensi tersebut juga melarang negara peratifikasi melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan dan menjamin agar pejabat dan lembaga publik bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut. Pejabat publik merupakan orang yang memiliki pengaruh luas terhadap masyarakat, perbuatan dan ucapannya disorot media sebagai suatu pengawasan kinerja. Ucapan dan tindakan pejabat publik memiliki dampak pada pengambilan kebijakan sebuah negara,” ujar Sekretaris Program Studi Magister Hukum ini.

Pernyataan Dhani sebagai Anggota DPR RI tidak saja melanggar pasal-pasal dalam CEDAW namun juga dapat dikatakan rasis dan seksis. Perempuan dianggap sebagai mesin reproduksi untuk menghasilkan anak-anak keturunan unggul yang dapat dimanfaatkan sebagai pemain bola di masa depan. “Ide tersebut tidak hanya menunjukkan pola pikir patriarki dalam kepalanya, tapi lebih celakanya, ide tersebut secara terbuka diusulkan di depan Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR RI yang dibiayai oleh rakyat, termasuk rakyat berjenis kelamin perempuan,” ucapnya.

Pendapat Dhani yang disusul gelak tawa anggota DPR RI dan Kemenpora ini menunjukkan candaan seksis yang mendiskriminasi perempuan masih menjadi culture rape yang dipertontonkan secara vulgar di forum dan majelis terhormat. Bagaimana Indonesia dapat mencapai tujuan Konvensi CEDAW jika wakil-wakil rakyat masih memiliki sikap demikian. Laili berharap banyak pada pendidikan partai politik calon wakil rakyat yang tidak hanya pintar mengeruk suara namun juga mampu secara bijaksana mengungkapkan pendapat yang mencerminkan adil sejak dalam pikiran.

Hari Perempuan Internasional mengingatkan bahwa perjuangan menuju kesetaraan masih harus terus dilakukan. Dengan kolaborasi dari berbagai pihak, diharapkan perempuan dapat terus berkarya dan berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan, baik di tingkat lokal maupun global.


Share Berita