Home
news
Syawalan sebagai Cermin Kearifan Budaya dan Nilai Islam

Syawalan sebagai Cermin Kearifan Budaya dan Nilai Islam

news Sun, 2025-04-20 - 12:54:51 WIB

"Dalem Mangkubumen ini dibangun pada tahun 1874 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VI, dan kemudian digunakan oleh putranya yang Pangeran Adipati Anom hingga naik tahta dan bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Tempat ini bukan sekadar bangunan, tetapi saksi perjalanan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat kita," tutur Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec. pada acara Syawalan Trah HB VII oleh Paguyuban Sapta Wandawa Trah NgDSDISKS Hamengku Buwono VII di Dalem Mangkubumen, Kadipaten, Kraton, Kota Yogyakarta pada Minggu (20/02).

Acara syawalan ini juga dihadiri oleh tamu kehormatan seperti GBPH Prabukusumo yang juga menjabat sebagai Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Nitya Budaya, lalu Irjen. Pol. (Purn.) Drs. R.M. Haka Astana Mantika Widya, S.H., mantan Kapolda DIY, beserta para tokoh lainnya dari trah HB VII.

Prof. Edy menegaskan bahwa Syawalan memang tidak memiliki tuntunan khusus dalam Al-Qur’an ataupun syariat Islam secara eksplisit. Namun, dalam konteks budaya Jawa dan ajaran Sunan Kalijaga, Syawalan memiliki makna yang sangat dalam. "Silaturahmi itu adalah kewajiban dalam Islam. Tradisi Syawalan menjadi sarana untuk memelihara kekerabatan dan mempererat ukhuwah," jelasnya yang juga sebagai Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta.

Ia juga mengingatkan pentingnya saling memaafkan sebagai bagian dari hubungan antar manusia. "Sebesar apa pun dosa manusia, ampunan Allah SWT selalu lebih besar. Namun, dalam konteks hubungan antarsesama, dosa tidak selesai hanya dengan istighfar—ada keharusan untuk saling meminta dan memberi maaf. Inilah yang diikrarkan dalam Syawalan," ujarnya.

Menurutnya, budaya Syawalan atau halal bi halal, terlebih jika dilakukan dalam ikatan nasab atau keluarga, adalah wujud akulturasi dan asimilasi antara nilai-nilai Islam dan budaya lokal. “Terlebih lagi jika dilakukan di tempat yang secara historis sangat berarti, seperti Dalem Mangkubumen yang pernah dihuni oleh Sri Sultan HB VII. Ini menjadi simbol pertemuan antara nilai leluhur dan kebijaksanaan spiritual,” tambahnya.

Sebagai penutup, Prof. Edy juga mengutip pemikiran filsuf besar, Imam Al-Ghazali: “Hal yang paling berat di dunia ini adalah menerima amanah. Maka jagalah amanah itu sesuai kemampuan dan jangan melakukan sesuatu di luar pengetahuan kita.” 

Pesan lain yang penuh makna juga disampaikan, “yang paling dekat dengan kita di dunia ini adalah kematian. Maka selama kita masih diberi waktu untuk berkumpul, berbuat baiklah kepada sesama. Dan yang paling indah di dunia ini adalah saling memaafkan—sebagaimana makna silaturahim: silah berarti hubungan, rahim adalah kasih sayang," tutupnya.


Share Berita