Home
news
Persoalan Ijazah Presiden Jokowi: Isu Minor yang Menguras Energi Publik, Pemerintah Dinilai Abai Menunjukkan Tanggung Jawab

Persoalan Ijazah Presiden Jokowi: Isu Minor yang Menguras Energi Publik, Pemerintah Dinilai Abai Menunjukkan Tanggung Jawab

news Sun, 2025-04-20 - 08:44:47 WIB

oleh: Dr. As Martadani Noor, M.A., Dosen Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Polemik mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali menjadi perbincangan publik yang luas. Meskipun isu ini tergolong minor dalam konteks kenegaraan, perhatian masyarakat terhadapnya cukup besar. Sayangnya, hingga kini, pemerintah belum menunjukkan sikap tegas dalam menyikapi atau menyelesaikan persoalan tersebut secara tuntas, terbuka, dan menyeluruh.

Secara umum, sangat jarang terjadi di tingkat nasional maupun internasional bahwa keaslian ijazah seorang kepala negara menjadi bahan perdebatan publik. Di Indonesia sendiri, ijazah pendidikan merupakan dokumen resmi yang setiap tahun diterbitkan untuk jutaan lulusan dari berbagai jenjang pendidikan, dan sangat jarang menjadi subjek polemik luas, apalagi menyangkut keaslian.

Dalam praktiknya, jika muncul keraguan atau tuduhan terkait keabsahan ijazah seseorang—termasuk dugaan pemalsuan—negara biasanya mengambil peran aktif melalui institusi resmi, baik kementerian terkait maupun lembaga peradilan. Langkah ini lazim dilakukan untuk memastikan kepastian hukum serta mencegah isu berkembang liar di ruang publik. Mekanisme penyelesaian semacam itu penting guna menjaga marwah negara dan ketertiban sosial.

Namun dalam konteks dugaan terkait keaslian ijazah Presiden Jokowi, tidak tampak adanya kehadiran negara yang memadai. Isu ini telah mencuat sejak beberapa waktu lalu dan terus berulang di ruang-ruang diskusi publik, tanpa adanya klarifikasi resmi yang kuat dan kredibel dari pemerintah. Padahal, status Presiden—baik saat masih menjabat maupun setelah purna tugas—membawa konsekuensi simbolik dan institusional yang besar bagi wibawa negara.

Jika tidak segera direspons secara proporsional dan profesional, isu ini berpotensi menjadi distraksi serius yang menyedot perhatian publik dari persoalan-persoalan kenegaraan yang lebih urgen, seperti penanganan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, pengangguran, dan stabilitas ekonomi. Dengan demikian, membiarkan isu ini berkembang tanpa arah juga mencerminkan lemahnya kemampuan pemerintah dalam mengelola krisis komunikasi dan membendung disinformasi.

Sebagai langkah konkret, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) didorong untuk membentuk tim pencari fakta independen yang bertugas menyelidiki dan mengklarifikasi secara menyeluruh asal-usul dan keabsahan ijazah yang dimaksud. Tim ini harus beranggotakan pakar hukum, pendidikan, dan forensik dokumen, serta bekerja secara transparan agar hasilnya dapat diterima publik secara luas.

Tanpa kehadiran negara dalam menjernihkan persoalan ini, publik akan terus dihadapkan pada spekulasi, polarisasi opini, serta atmosfer ketidakpercayaan terhadap institusi negara. Lebih jauh lagi, sikap pembiaran terhadap isu sederhana seperti ini dapat menjadi cerminan bahwa pemerintah tidak memiliki kesanggupan yang memadai untuk menghadapi persoalan-persoalan bangsa yang lebih kompleks dan berdampak luas.

Dengan demikian, meskipun persoalan ini tampak sederhana—atau dalam istilah umum disebut sebagai “hal ecek-ecek”—penyelesaiannya menjadi penting demi menjaga integritas demokrasi, memperkuat legitimasi institusional, dan memastikan bahwa setiap pemimpin negara memiliki rekam jejak yang dapat diverifikasi oleh publik.


Share Berita