Oleh: Dr. Bhenu Artha, S.E., M.M., Dosen Program Studi Kewirausahaan, Fakultas Ekonomi, Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta
Banjir bandang yang terjadi di Sumatera baru-baru ini kembali mengingatkan kita bahwa bencana bukan sekadar peristiwa alam. Ia juga merupakan cerminan dari kegagalan sistemik dalam perencanaan dan pengelolaan kebijakan publik, terutama dalam proses penganggaran. Setiap tahun, pola yang sama berulang: hujan deras memicu longsor, sungai meluap, permukiman rusak, dan korban jiwa berjatuhan. Namun jarang sekali muncul pertanyaan mendasar: apakah anggaran negara dan daerah telah benar-benar berpihak pada pelestarian lingkungan? Ataukah justru sebagian belanja publik secara tidak langsung membiayai aktivitas yang memperburuk kerusakan ekologis?
Green budgeting, atau penganggaran hijau, merupakan pendekatan fiskal yang menilai seluruh belanja pemerintah berdasarkan dampaknya terhadap lingkungan. Konsep ini tidak hanya menambah pos anggaran bagi sektor lingkungan hidup, tetapi juga memastikan bahwa proyek infrastruktur, pendidikan, energi, dan sektor lainnya dianalisis dari perspektif keberlanjutan.
Praktik ini telah menjadi standar di berbagai negara maju seperti Prancis dan Korea Selatan. Indonesia sebenarnya telah memulai langkah serupa melalui sistem green tagging yang dikembangkan oleh Bappenas dan Kementerian Keuangan. Sistem tersebut berfungsi menandai program pembangunan yang mendukung tujuan keberlanjutan. Namun implementasinya masih dominan di tingkat pusat, sementara pemerintah daerah yang justru paling dekat dengan lokasi rawan bencana malah belum sepenuhnya mengadopsi pendekatan ini.
Berbagai temuan menunjukkan bahwa banyak proyek pembangunan di daerah belum dievaluasi secara memadai dari sisi ekologi. Pembangunan jalan di lereng tanpa reboisasi, aktivitas tambang di hulu sungai, serta alih fungsi hutan tanpa perhitungan jangka panjang merupakan contoh proyek berbiaya publik yang justru memperbesar risiko bencana. Sementara itu, program konservasi hutan, edukasi mitigasi bencana, dan perlindungan daerah aliran sungai sering kali memperoleh alokasi anggaran yang terbatas serta minim perhatian politik.
Terdapat tiga persoalan utama yang menghambat penerapan green budgeting secara menyeluruh: pertama, keterbatasan kapasitas teknis daerah seperti pemerintah daerah yang belum memiliki sumber daya manusia dan instrumen analisis untuk menilai kategori belanja yang ramah lingkungan. Kedua, belum adanya kewajiban regulasi yang menyebabkan hingga kini tidak terdapat aturan yang mewajibkan seluruh daerah menerapkan penganggaran hijau secara sistematis. Dan ketiga, lemahnya koordinasi antarinstansi seperti KLHK, Bappenas, dan Kemenkeu yang memiliki program masing-masing, namun belum terbangun sistem terintegrasi yang mampu menyelaraskan kebijakan lintas sektor.
Bencana banjir bandang seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat tata kelola fiskal nasional dan daerah. Pemerintah pusat perlu memasukkan green budgeting sebagai bagian wajib dalam siklus perencanaan pembangunan. Pemerintah daerah juga harus didorong—atau diwajibkan—untuk menyusun, mengimplementasikan, dan melaporkan belanja lingkungan secara lebih transparan.
Partisipasi publik pun tidak kalah penting. Pengawasan masyarakat terhadap alokasi anggaran daerah dapat memastikan bahwa dana publik tidak digunakan untuk membiayai proyek yang merusak lingkungan atau mengancam keberlanjutan ekosistem lokal.
Bencana alam memang tidak selalu dapat dihindari, tetapi banyak di antaranya dapat diminimalkan melalui perencanaan dan penganggaran yang tepat. Dengan komitmen jangka panjang pada keberlanjutan, banjir bandang tidak harus menjadi musibah tahunan. Green budgeting bukanlah pilihan mewah, melainkan kebutuhan yang mendesak. Menunda penerapannya berarti mempertaruhkan hutan, sungai, dan masa depan ekologis bangsa—serta menunjukkan kelalaian dalam menjalankan tanggung jawab kolektif untuk menjaga alam Indonesia.