Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Syariah Seluruh Indonesia (HIMBARSI) DPW Daerah Istimewa Yogyakarta, bekerja sama dengan BPD DIY Syariah dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) DIY, menyelenggarakan kegiatan Economic Syariah Outlook 2026 bertema “Sustainability Perbankan Syariah di Tengah Ketidakpastian Perekonomian Nasional: Tantangan dan Peluang”. Acara ini digelar di Hotel Tara Yogyakarta pada Rabu (29/10)
Salah satu narasumber utama dalam kegiatan ini adalah Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec., Guru Besar Ilmu Ekonomi sekaligus Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta yang memaparkan analisis mengenai prospek ekonomi nasional dan arah perkembangan perbankan syariah di tahun 2026. Narasumber lainnya yang turut memberikan pemaparannya adalah Wakil Ketua MES DIY sekaligus Direktur Pusat Pengkajian Ekonomi UII Priyonggo Suseno beserta Hermanto selaku Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia DIY.
Dalam paparannya, Prof. Edy menyoroti kondisi perekonomian nasional yang masih dibayangi ketidakpastian global, baik akibat tensi politik internasional, potensi perang dagang, maupun tekanan inflasi global yang berdampak pada kinerja ekonomi domestik.
“Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 2026 sebesar 5,3%, namun lembaga-lembaga kredibel dunia seperti IMF dan Bank Dunia memproyeksikan di bawah 5%. Ini menunjukkan ketidakpastian yang masih tinggi,” ujar Prof. Edy.
Menurutnya, perbankan syariah tetap memiliki daya tahan lebih baik dibanding perbankan konvensional, sebagaimana terbukti pada masa krisis 1998. Prinsip pembagian hasil dan basis aset riil menjadikan sistem perbankan syariah lebih resilien menghadapi guncangan ekonomi. Meski demikian, sektor ini tidak sepenuhnya imun dari tekanan makroekonomi.
Prof. Edy juga menyoroti tantangan berat yang dihadapi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), terutama terkait kebijakan merger antar-BPRS dalam satu kepemilikan. “Kewajiban merger ini bagi sebagian BPRS ibarat ‘kawin paksa tanpa insentif’, karena dibebani biaya dan konsekuensi berat yang bisa menekan daya saing mereka,” jelasnya.
Selain itu, rendahnya literasi dan inklusi keuangan syariah juga menjadi hambatan serius. Berdasarkan data OJK, indeks literasi keuangan syariah Indonesia baru mencapai 39,11%, sementara inklusi keuangan syariah hanya 12,88%. “Artinya, dari 100 orang Indonesia, baru sekitar 13 yang benar-benar memanfaatkan layanan keuangan syariah,” tambah Ketua MES DIY ini.
Sementara itu Priyonggo menegaskan bahwa ekosistem ekonomi Islam Indonesia menunjukkan kemajuan signifikan, baik di sektor keuangan syariah, keuangan sosial, maupun industri halal. “Keuangan syariah kita tumbuh di atas rata-rata konvensional, dengan likuiditas dan permodalan yang semakin kuat,” ujarnya merujuk pada data OJK 2025 yang mencatat rasio CAR bank syariah mencapai 25,02% dan ROA meningkat menjadi 1,96%.
Priyonggo menyoroti pula peluang besar sektor industri halal yang terus tumbuh dan menempatkan Indonesia pada posisi strategis di kancah global. Berdasarkan laporan Global Islamic Economy Indicator 2024, Indonesia menempati peringkat keempat dunia dan hanya terpaut 64,2 poin dari Arab Saudi. “Dengan penguatan ekosistem halal, digitalisasi, dan peningkatan daya saing produk, Indonesia berpotensi masuk tiga besar dunia dalam waktu dekat,” jelasnya.
Ia juga membandingkan strategi sukses negara lain seperti Malaysia dan Arab Saudi. Malaysia dinilai berhasil karena kolaborasi lintas lembaga dan dukungan kebijakan yang kuat dalam pengembangan Islamic finance dan pariwisata ramah Muslim. Sementara Arab Saudi unggul dalam penerapan teknologi, seperti integrasi kecerdasan buatan dalam industri keuangan dan layanan haji.
Di sisi lain, Hermanto menilai bahwa ekonomi DIY tahun 2025 tumbuh sebesar 5,49% (year on year) dan diproyeksikan akan tetap kuat pada kisaran 4,9–5,7% (year on year) di tahun 2026. Inflasi daerah juga diperkirakan terkendali dalam rentang 1,81–2,81%, sejalan dengan target nasional. “Aktivitas domestik, peningkatan kunjungan wisatawan, dan stimulus fiskal pemerintah menjadi faktor utama penggerak ekonomi DIY,” ujarnya.
Dari sisi perbankan, kinerja intermediasi di DIY terjaga dengan baik. Kredit perbankan konvensional tumbuh 6,37% (year on year), sementara pembiayaan perbankan syariah meningkat 5,82% (year on year) dengan rasio pembiayaan bermasalah hanya 1,76%, jauh di bawah ambang batas 5%. Struktur pembiayaan syariah masih didominasi oleh pembiayaan konsumsi sebesar 58,3%, diikuti investasi dan modal kerja.
Sektor pariwisata dan pendidikan tinggi tetap menjadi penggerak utama ekonomi Yogyakarta. Kedua sektor ini memberikan kontribusi besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), masing-masing 65,67% untuk pariwisata dan 8,13% untuk pendidikan tinggi. “Sinergi antara perbankan, pemerintah daerah, dan kampus menjadi peluang besar untuk memperluas pembiayaan inklusif, termasuk KUR tematik pariwisata dan pendidikan,” papar Hermanto.
Kegiatan Economic Syariah Outlook 2026 ini menjadi wadah refleksi dan diskusi strategis bagi pelaku industri keuangan syariah di Yogyakarta dan sekitarnya untuk memperkuat ketahanan, memperluas jaringan, serta menyusun langkah konkret menghadapi dinamika ekonomi tahun mendatang.