Setiap tanggal 9 Maret, Indonesia merayakan Hari Musik Nasional sebagai bentuk penghargaan terhadap kekayaan musik Tanah Air dan peranannya dalam membangun identitas bangsa. Peringatan ini bertepatan dengan hari lahir komponis besar Indonesia, Wage Rudolf Supratman, yang menciptakan lagu kebangsaan "Indonesia Raya."
Hari Musik Nasional resmi ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2013. Awalnya, peringatan ini diinisiasi oleh PAPRI atau Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia pada tahun 2003, tetapi baru terwujud di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada tahun 2025 ini, Hari Musik Nasional bertema “Ragam Budaya, Memajukan Budaya Indonesia”.
Sebagai ekspresi dan bagian dari peradaban kebudayaan, musik juga sering menjadi medium dalam menyuarakan berbagai aspirasi komunitas atau kelompok masyarakat Indonesia. Belum hilang dari ingatan kita, kelompok musik atau band bernama Sukatani yang merupakan duet musik bergenre Punk yang berbasis di Purbalingga, Jawa Tengah. Sukatani mulai mendapatkan perhatian luas setelah lagu mereka yang berjudul “Bayar Bayar Bayar” viral di platform media sosial. Lagu tersebut mengkritisi instistusi kepolisian Indonesia dan berujung pada penarikan atas permintaan aparat kepolisian.
Pada 20 Februari lalu, Sukatani menyatakan telah menarik peredaran lagu “Bayar Bayar Bayar” dari segala platform musik, dan kedua personilnya, Alectroguy dan Twister Angel, membuat sebuah video yang menunjukan kedua wajah asli mereka, memperkenalkan diri, dan mengutarakan permohonan maaf kepada Kepolisian Indonesia.
Kejadian ini telah memunculkan dugaan intimidasi oleh aparat kepolisian kepada Sukatani dan justru lagu tersebut semakin sering diputar dan popular, hingga menjadi tema aksi demonstrasi Indonesia Gelap. Kejadian ini juga memicu pembicaraan mengenai tindakan represif kepolisian dan pembatasan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Sri Lestari Harjanta, S.I.P., M.Si., dosen Program Studi Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta menyampaikan bahwa sudah sejak lama imej negatif tersemat pada pelayanan publik di Indonesia. Hingga saat ini, wajah layanan publik sejatinya tidak banyak berubah; pungli, korupsi, red tape (mempersulit, ribet, dan prosedural) hingga pegawai tidak profesional masih terjadi.
“Apa yang disuarakan Band Sukatani lewat lagu “Bayar Bayar Bayar” adalah wajah nyata layanan publik Indonesia. Band Punk asal Purbalingga, Jawa Tengah ini telah menyuarakan fakta tentang layanan publik. Dan akhirnya lagu tersebut diminta diturunkan dari semua platform media sosial. Bukannya menghilang, lagu tersebut justru meledak. Sukatani dan lagu “Bayar, Bayar, Bayar”, kian popular,” ucap Ketua Program Studi Administrasi Publik ini.
Pria yang akrab disapa Sulis ini juga menyampaikan dua hal yang dapat dijadikan pelajaran dari kejadian Sukatani dan menyambut Hari Musik Nasional. “pertama, sebuah ekspresi melalui musik/lagu tidak seharusnya direspon dengan represif. Sudah sejak lama lagu menjadi media kritik. Secara konstitusi, kebebasan berekspresi ini dilindungi Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM,” ucapnya.
“pelajaran kedua adalah justru kita harus berterimakasih pada Band Sukatani dan musisi lainnya yang menyuarakan kritikan pada negara. Sebab, setiap kekuasaan berpotensi untuk diselewengkan. Kritik melalui lagu adalah sebagai upaya untuk menjaga kekuasaan dijalankan sebagaimana mestinya,” tutupnya.
Senada dengan tema Hari Musik Nasional yaitu "Ragam Budaya, Memajukan Budaya Indonesia", sudah seharusnya negara berusia 79 tahun ini terus berbenah memperbaiki segala bentuk layanan publik yang adil, transparan, akuntabel, efisien, partisipasi, dan kepentingan publik. Tidak lupa, memiliki sikap jujur sebagai bagian dari membangun budaya profesionalisme itu sendiri.