Home
news
Reformasi Penegakan dan Tanggung Jawab Brimob: Menjaga Kekuatan dalam Batas Kemanusiaan

Reformasi Penegakan dan Tanggung Jawab Brimob: Menjaga Kekuatan dalam Batas Kemanusiaan

news Jumat, 2025-11-14 - 10:46:44 WIB

Oleh: Dr. Hartano, S.E., S.H., M.Hum., Dosen Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta

Korps Brigade Mobil (Brimob) Polri adalah satuan pamungkas (striking force) dalam tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibentuk untuk menghadapi situasi dengan tingkat ancaman tinggi, seperti kerusuhan, konflik sosial, dan ancaman bersenjata. Dalam berbagai operasi pengendalian massa, Brimob memegang posisi krusial: sebagai penjaga ketertiban umum sekaligus garda terakhir ditubuh Polri dalam memastikan stabilitas nasional. Namun, posisi ini juga menempatkan Brimob di tengah dilema antara kewajiban menjaga ketertiban dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Brimob memiliki kewenangan melakukan tindakan represif, termasuk penggunaan kekuatan, namun tetap harus berada dalam bingkai necessity, proportionality, legality, dan accountability.

Kasus terkini memperkuat urgensi pertanggungjawaban hukum tersebut. Berdasarkan laporan media, dua anggota Brimob yang mengendarai kendaraan taktis dilaporkan menabrak pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, pada 28 Agustus 2025, dan akan menghadapi proses pidana.  “Dua anggota Brimob penabrak Affan Kurniawan akan menghadapi proses hukum pidana,” Menko Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, memastikan proses sedang berjalan (IndependenMedia.id, 26 September 2025). Peristiwa ini bukan sekadar masalah personal, tetapi cermin dari pergeseran paradigma, bahwa setiap aparat setinggi apa pun posisi/ satuannya dalam struktur kekuasaan, tetap tunduk pada hukum. Kekuatan negara tidak boleh bertransformasi menjadi kekerasan tanpa batas; hukum pidana hadir untuk memastikan garis moral dan legal itu tetap dijaga.

Pertanggungjawaban pidana anggota Brimob saat menanggulagi kerusuhan dapat diuraikan sebagai berikut: Subjek hukum: personel yang memiliki kewenangan pengambilan keputusan, misalnya komandan satuan atau pengemudi rantis yang bertindak, sedangkan staf operasional biasa  tidak langsung menjadi subjek pidana tanpa kapasitas manajerial. Unsur kesalahan: tindakan aparat baru dapat dipidana jika terbukti ada kesengajaan (dolus) atau kelalaian berat (culpa lata) dalam penggunaan kekuatan yang tidak sah. ”Bahkan sampai ada ungkapan bahwa ”saat bertugas saat bertugas satu kaki di Surga dan satu kaki di Neraka”.

Penggunaan kekuatan (dalam konteks pembenaran hukum) hanya boleh dilakukan jika memenuhi beberapa kondisi seperti pembelaan terpaksa atau perintah jabatan, jika tidak, tindakan aparat dapat melaggar rambu-rambu pidana sebagai pelanggaran hukum pidana. Sebagaimana ditegaskan oleh Gani dkk. (2025) dalam penelitian Kewenangan Penggunaan Kekuatan oleh Korps Brimob Polri dalam Penanganan Rusuh Massa Berdasarkan Prinsip Hukum Pidana, bahwa pelaksanaan kekuatan oleh Brimob harus selalu dinilai berdasarkan asas keabsahan dan proporsionalitas, sebab “setiap pelanggaran prinsip tersebut berpotensi menimbulkan tanggung jawab pidana bagi aparat. Di sisi lain, penting pula menyeimbangkan bahwa setiap anggota Brimob yang bertugas dalam situasi berkadar tinggi (aras tinggi) berhak atas perlindungan hukum yang proporsional. Negara wajib memberikan jaminan hukum terhadap tindakan aparat yang dilakukan sesuai prosedur dan dalam rangka pelaksanaan tugas resmi. Dengan demikian, prinsip accountability berjalan beriringan dengan prinsip legal protection untuk semua orang.

Momentum reformasi penegakan hukum bagi Brimob juga relevan pasca Presiden Prabowo Subianto melantik Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia di Istana Merdeka pada 7 November 2025. Presiden Prabowo menegaskan: “Keberhasilan suatu komponen bangsa terletak pada apakah bangsa itu mampu menyelenggarakan berkuasanya hukum, the rule of law. Dan harus ada kepastian hukum yang melahirkan keadilan“. Komisi yang dipimpin oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dengan Prof. Mahfud MD sebagai anggota, bersama petinggi Polri maupun purnawirawan diberi mandat untuk meninjau ulang struktur, kewenangan, dan kultur Polri. Ini menandai babak baru: reformasi institusional yang tidak hanya administratif, tetapi juga filosofis bahwa kekuatan bersenjata negara harus selalu tunduk di bawah supremasi hukum.“

Masa depan Brimob tidak semata ditentukan oleh kemampuan taktis menghadapi operasi-operasi menanggulangi kerusuhan, tetapi oleh kedalaman moral dan kesadaran etik (jati diri) yang mengiringinya. Kekuatan yang tidak dibimbing oleh kebijaksanaan akan kehilangan legitimasi moralnya, sementara kebijaksanaan tanpa keberanian akan kehilangan daya gigitnya. Karena itu, reformasi Brimob harus menyentuh dua lapis dimensi: profesionalisme teknis dan kematangan etis.

Sebagaimana diuraikan oleh Gefri Agitia (2024) dalam penelitiannya tentang Capacity Building Brimob dalam Operasi Kewilayahan Polri, efektivitas satuan Brimob dalam menghadapi situasi darurat bergantung pada kemampuan mental, moral, dan disiplin hukum anggotanya. Pendidikan hukum dan hak asasi manusia, mekanisme evaluasi yang transparan, serta kerja sama dengan lembaga independen menjadi prasyarat bagi lahirnya profesionalisme dalam saturan Brimob. Hannah Arendt dalam artikelnya Responsibility and Judgment (2003), menyatakan “Tanggung jawab moral tidak berhenti pada ketaatan terhadap perintah, tetapi pada kemampuan individu untuk menilai apakah perintah itu masih manusiawi.”

Selamat Hari Ulang Tahun (HUT) Brimob ke-80, 14 November 2025. Semoga Brimob terus menjadi simbol keberanian yang bermoral, kekuatan yang berkeadilan, dan pengabdian yang menjunjung tinggi kemanusiaan.


Share Berita