Oleh: Antonius Satria Hadi, S.E., M.Sc., Ph.D., Dosen Program Studi Kewirausahaan, Fakultas Ekonomi, Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta
Di tengah derasnya arus digitalisasi dan modernisasi, ada satu tren unik yang justru kembali ke masa lalu: kidulting. Istilah ini mengacu pada fenomena ketika orang dewasa menikmati aktivitas, produk, atau hiburan yang identik dengan masa kecil, seperti bermain game retro, mengoleksi action figure, menonton kartun lama, atau mengenakan pakaian bertema karakter animasi. Fenomena ini bukan sekadar bentuk pelarian atau hiburan, tetapi juga telah menjadi peluang bisnis dan strategi pemasaran yang menjanjikan, termasuk di Indonesia.
Secara sosiologis, kidulting dapat dilihat sebagai respons terhadap tekanan hidup modern. Banyak orang dewasa yang merasa jenuh, stres, atau lelah dengan tanggung jawab dan beban hidup sehari-hari. Dalam konteks ini, nostalgia terhadap masa kecil yang lebih sederhana menjadi bentuk pelarian emosional. Di sinilah kekuatan emotional marketing bekerja, merek-merek memanfaatkan ingatan masa lalu untuk membangun koneksi yang lebih dalam dengan konsumen.
Lebih jauh lagi, strategi pemasaran berbasis emosi yang digunakan dalam fenomena kidulting menunjukkan pergeseran cara merek berinteraksi dengan konsumen. Di era digital yang serba cepat dan penuh informasi, pendekatan rasional tak lagi cukup. Konsumen kini lebih responsif terhadap brand yang menyentuh sisi emosional mereka: kenangan, mimpi masa kecil, atau nilai sentimental. Pemasaran tidak lagi sekadar menjual produk, tetapi menjual pengalaman dan perasaan.
Selain nostalgia, kidulting juga berkaitan erat dengan konsep identity-based consumption, di mana konsumen memilih produk bukan hanya karena fungsinya, tetapi karena representasi identitas mereka. Seorang dewasa yang membeli koleksi Lego atau mainan Gundam, misalnya, mungkin tidak membelinya untuk bermain, tapi untuk menunjukkan sisi dirinya yang mencintai kreativitas, detail, atau budaya pop. Inilah kekuatan pasar kidult: mereka bukan pembeli impulsif, tetapi loyal dan bersedia mengeluarkan lebih banyak untuk produk yang mewakili diri mereka.
Strategi ini terbukti efektif. Brand-brand besar global telah lama menggunakan nostalgia untuk menarik perhatian segmen dewasa muda, dan kini tren itu merambah Indonesia. Lihat saja bagaimana Uniqlo menghadirkan koleksi kaos kolaborasi dengan karakter seperti Doraemon, Sanrio, atau Pokémon. Di industri makanan, kita bisa melihat merek-merek seperti Indomilk atau Taro Snack kembali mengangkat desain kemasan jadul untuk memicu emosi “masa kecil yang bahagia.” Bahkan bioskop tanah air tak ketinggalan: film animasi atau live action dari karakter klasik seperti Doraemon, Slam Dunk, hingga Power Rangers selalu mendapat sambutan hangat.
Di Indonesia, fenomena kidulting tidak hanya menjadi tren konsumsi, tapi juga menciptakan ceruk bisnis yang potensial. Contohnya, menjamurnya café bertema kartun atau tempat wisata Instagramable bertema “retro childhood” seperti museum mainan atau taman nostalgia. Industri kreatif pun turut mengambil peran, dengan meningkatnya permintaan terhadap ilustrasi, merchandise, dan produk handmade bertema karakter vintage.
Bagi pelaku bisnis di Indonesia, ini adalah peluang. UMKM, brand lokal, maupun korporasi besar bisa mengembangkan produk atau layanan yang menyentuh sisi emosional konsumen dewasa muda. Misalnya, lini fashion bertema kartun lokal, ilustrasi nostalgia tahun 90-an, atau edisi terbatas snack masa kecil. Penggunaan influencer juga bisa diarahkan ke micro-KOL atau bahkan Key Opinion Consumer (KOC) yang autentik dan relatable, untuk menjangkau segmen kidult dengan cara yang lebih personal.
Namun, penting juga untuk mencatat bahwa bisnis yang menyasar pasar ini harus dilakukan dengan riset mendalam. Nostalgia bisa menjadi pedang bermata dua; jika tidak relevan atau terlalu dipaksakan, justru bisa menimbulkan kesan murahan atau tidak otentik.
Kidulting adalah cerminan bahwa dalam dunia yang kompleks, orang dewasa pun butuh kembali ke hal-hal sederhana yang membuat mereka bahagia. Bagi dunia bisnis, ini bukan hanya tren sesaat, tetapi peluang untuk membangun hubungan emosional yang kuat dengan konsumen. Dengan menggabungkan strategi pemasaran emosional, konten nostalgia, dan pemahaman terhadap perilaku konsumen, pelaku bisnis Indonesia bisa menciptakan produk dan kampanye yang bukan hanya laku, tapi juga bermakna.