Home
news
Dunia Pendidikan sebagai Wadah Membangun Sikap Humanis: Refleksi pada Hari Toleransi Internasional

Dunia Pendidikan sebagai Wadah Membangun Sikap Humanis: Refleksi pada Hari Toleransi Internasional

news Senin, 2025-11-17 - 11:08:42 WIB

Oleh: Dwi Astuti, S.Sos., M.Si., Dosen Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta

Pada 16 November 1995, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan Hari Toleransi Internasional sebagai momentum global untuk mengingatkan seluruh warga dunia tentang pentingnya saling menghargai dan menolak segala bentuk pengabaian maupun diskriminasi. Ketetapan ini menegaskan bahwa perbedaan suku, agama, ras, budaya, maupun identitas lainnya tidak boleh menjadi alasan untuk merendahkan atau meminggirkan kelompok tertentu.

Peringatan ini relevan dengan berbagai peristiwa yang cukup mengagetkan dalam beberapa bulan terakhir, khususnya kasus-kasus perundungan yang berdampak fatal, baik berupa tindakan menyakiti diri sendiri maupun menyakiti orang lain. Yang lebih memprihatinkan, fenomena tersebut banyak terjadi di lembaga pendidikan, mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah, hingga pendidikan tinggi. Banyak pihak meyakini bahwa kasus yang terungkap hanyalah “puncak gunung es”, sementara sebagian besar kasus lain tidak terlaporkan atau tersembunyi di balik normalisasi perilaku yang seharusnya tidak dapat dibenarkan.

Hari Toleransi Internasional tidak hanya mengingatkan kita pada pentingnya menjaga relasi antar suku, agama, dan budaya yang sangat beragam di Indonesia. Lebih dari itu, momen ini juga perlu menjadi refleksi atas relasi antar individu maupun kelompok di lingkungan pendidikan. Perundungan kerap dialami oleh peserta didik yang dianggap berbeda dari kelompok mayoritas; baik karena fisik, latar belakang, kemampuan akademik, maupun karakter personal. Perbedaan tersebut seharusnya dikelola secara humanis, bukan dijadikan dasar untuk memarginalkan seseorang.

Lembaga pendidikan sejatinya merupakan ruang strategis untuk membangun konstruksi berpikir yang humanis. Sekolah dan kampus harus menjadi tempat di mana setiap peserta didik belajar menerima, menghargai, dan merawat perbedaan, sekaligus mengembangkan sikap saling peduli. Namun ironisnya, masih ada lembaga pendidikan yang secara tidak langsung membiarkan budaya pengabaian terhadap kasus perundungan, baik karena minimnya kepedulian institusi maupun kurangnya sistem pelaporan dan penanganan yang efektif.

Memang benar bahwa keluarga merupakan ruang belajar pertama dan utama bagi seorang anak. Namun lembaga pendidikan adalah ruang perjumpaan antar berbagai latar belakang, sehingga potensi interaksi yang positif maupun negatif menjadi jauh lebih besar. Karena itu, institusi pendidikan memegang peran krusial dalam menciptakan budaya yang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan.

Melalui refleksi pada Hari Toleransi Internasional, kita perlu menegaskan kembali bahwa dunia pendidikan harus menjadi benteng utama dalam membangun karakter humanis generasi muda Indonesia. Toleransi tidak cukup dipahami sebagai slogan, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan, budaya sekolah, interaksi keseharian, serta keberpihakan terhadap kelompok yang rentan. Dengan demikian, lembaga pendidikan dapat benar-benar menjadi ruang berkembang yang menghargai martabat setiap individu tanpa terkecuali.


Share Berita