 
                                 
                            Oleh: Dr. Hartanto, S.E., S.H., M.H., Dosen Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta
Seorang (purna) psikolog kepolisian pernah menyampaikan refleksi menarik: “Carikan orang Indonesia yang paling gemar melanggar aturan, lalu tempatkan ia di Singapura, maka ia akan tertib.”
Pernyataan sederhana ini sesungguhnya menggambarkan relasi mendalam antara hukum, budaya, dan perilaku manusia. Ia menegaskan bahwa ketaatan terhadap hukum bukan semata hasil dari ancaman pidana, melainkan buah dari budaya hukum yang tumbuh melalui kebiasaan sosial dan keteladanan publik.
Pandangan tersebut sejalan dengan teori Lawrence M. Friedman (1975) yang menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas tiga komponen utama: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Dua komponen pertama dapat dibangun melalui peraturan dan lembaga formal, namun budaya hukum hanya dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan teladan sosial yang konsisten. Inilah aspek paling rapuh sekaligus paling menentukan keberhasilan penegakan hukum di Indonesia.
Singapura kerap dijadikan contoh negara dengan penegakan hukum yang tegas dan jelas tanpa ruang negosiasi moral. Di sana, pelanggaran sekecil apa pun dapat berujung pada sanksi nyata. Hukum ditegakkan bukan sekadar sebagai aturan, melainkan sebagai cermin kedisiplinan publik.
Sebaliknya, di Indonesia, hukum kerap memberi ruang “abu-abu”. Penegakannya terbuka terhadap penafsiran dan kompromi sosial-budaya. Secara teoritis, fleksibilitas ini dimaksudkan untuk mengakomodasi keragaman nilai dalam masyarakat yang pluralistik. Namun dalam praktik, ruang kompromi tersebut sering kali dimanfaatkan untuk menegosiasikan kepastian hukum. Akibatnya, hukum kehilangan ketegasan dan daya paksa yang seharusnya menjamin rasa keadilan.
Kajian terhadap hukum seharusnya tidak berhenti pada bunyi pasal, melainkan menggali tujuan hakiki dari lahirnya suatu norma hukum demi terwujudnya keadilan substantif. Dengan demikian, hukum tidak berhenti pada teks, tetapi terus bergerak menuju nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Di titik ini muncul pertanyaan mendasar: apakah fleksibilitas hukum di Indonesia masih dapat dianggap sebagai bentuk kearifan lokal, atau justru telah menjadi celah penyimpangan? Pertanyaan ini relevan di tengah meningkatnya skeptisisme masyarakat terhadap efektivitas hukum, khususnya dalam penegakan keadilan pidana.
Dalam perspektif psikologi hukum, perilaku hukum individu sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Seseorang yang hidup di lingkungan tertib akan secara alami beradaptasi dengan aturan, sementara individu yang tumbuh dalam ketidakteraturan akan memandang hukum sebagai beban, bukan pedoman. Proses pembiasaan sosial inilah yang disebut habitual conduct, yang lambat laun membentuk budaya hukum suatu bangsa.
Ketaatan hukum karenanya bukanlah hasil paksaan, melainkan hasil internalisasi nilai-nilai moral yang berulang. Masyarakat yang terbiasa menegakkan aturan tanpa kompromi akan menjadikan hukum sebagai refleksi moral, bukan sekadar ancaman pidana.
Bahasa hukum bersifat hidup dan terbuka terhadap interpretasi. H.L.A. Hart (1961) menyebut fenomena ini sebagai the open texture of law, yakni adanya ketidakpastian bawaan dalam bahasa hukum yang menuntut kebijaksanaan penegak hukum dalam penerapannya.
Di Indonesia, konsep ini terlihat ketika istilah seperti keadilan, kepastian, dan kemanfaatan ditafsirkan berbeda oleh polisi, jaksa, hakim, maupun advokat. Kelenturan bahasa hukum di satu sisi memberi ruang bagi keadilan substantif, tetapi di sisi lain dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang melemahkan kepercayaan publik dan iklim investasi.
Ketika hukum tidak lagi dapat diprediksi, masyarakat cenderung mencari jalur informal untuk menyelesaikan masalah—baik melalui kekuasaan politik, uang, maupun hubungan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya membutuhkan teks yang baik, tetapi juga niat baik serta integritas moral dari para penegaknya.
Dalam konteks tersebut, hakim tidak hanya terikat pada teks undang-undang yang kaku, tetapi juga pada konteks sosial dan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum yang kaku akan kehilangan jiwanya jika tidak disertai empati terhadap manusia sebagai subjek keadilan.
Dalam realitas sosial, masyarakat sering kali lebih cepat menilai figur daripada sistem. Tokoh publik seperti Tom Lembong dan Nadiem Makarim, misalnya, sering dipersepsikan sebagai pejabat yang berintegritas dan efisien. Namun fenomena ini mengandung paradoks: masyarakat lebih mempercayai siapa yang baik daripada sistem apa yang benar.
Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap hukum masih lebih bersifat personal ketimbang institusional. Padahal, sistem hukum yang kuat seharusnya berdiri di atas prinsip, bukan figur.
Filsafat Stoik mengajarkan bahwa inti ketertiban sosial bukan terletak pada aturan eksternal, melainkan pada pengendalian diri dan integritas batin. Hukum sejati tidak ditegakkan karena rasa takut terhadap hukuman, tetapi karena kesadaran moral. Sejalan dengan pandangan Gustav Radbruch, “hukum tanpa moralitas hanyalah kekosongan formal.”
Perbandingan menarik juga dapat dilihat dari Jepang. Sejak dini, anak-anak di sana diajarkan untuk bertanggung jawab terhadap lingkungannya seperti memungut sampah, menghormati waktu, dan menjaga kebersihan tanpa disuruh. Pendidikan karakter ini menumbuhkan budaya hukum yang kuat tanpa perlu ancaman pidana berat.
Sebaliknya, di Indonesia, pendidikan hukum formal sering hadir terlambat; baru diajarkan setelah kebiasaan sosial terbentuk. Akibatnya, hukum lebih sering berperan sebagai penjaga moral, bukan pembentuk perilaku. Padahal, hukum dalam semangat progresif seharusnya menjadi alat untuk membahagiakan manusia dan mewujudkan tatanan masyarakat yang adil serta sejahtera.
Dalam pandangan religius, hukum sering dipahami sebagai jalan menuju kesucian moral. Dalam konteks modern, hukum dapat dimaknai sebagai batas kebersihan moral atau pagar yang mencegah manusia merusak tatanan sosial.
Dalam ajaran Islam, thaharah atau bersuci tidak hanya bermakna ritual fisik, tetapi juga simbol penyucian hati dan niat. Demikian pula hukum ideal: ia tidak hanya mengatur tindakan lahiriah, tetapi juga menumbuhkan kesadaran batiniah warga negara.
Ungkapan Jawa “sak bejo-bejaning wong kang luwih bejo” mencerminkan pandangan bahwa keberuntungan manusia tidak hanya ditentukan oleh hukum formal, tetapi juga oleh kemurnian moral. Namun dalam kenyataan sosial, masyarakat Indonesia sering lebih memilih menjaga harmoni sosial daripada menegakkan keadilan. Ketika harmoni dijadikan dalih untuk menghindari konfrontasi hukum, maka hukum menjadi permisif, lunak, dan kehilangan fungsinya sebagai pelindung keadilan.
Kasus yang menimpa almarhum Timothy Anugerah, yang ramai diperbincangkan publik terkait dugaan perundungan, menggambarkan dilema serupa: antara menjaga citra harmoni sosial dan menegakkan keadilan bagi korban. Fenomena ini menunjukkan adanya tarik-menarik antara nilai empati sosial dan kewajiban moral dalam penegakan hukum pidana.
Ketaatan hukum di Indonesia tidak dapat dibangun hanya dengan memperbanyak peraturan atau memperkeras sanksi. Ketaatan sejati tumbuh melalui pendidikan moral, konsistensi penegakan hukum, dan pembiasaan sosial yang panjang. Ketertiban di Singapura bukanlah hasil ancaman semata, melainkan buah dari sistem sosial yang menanamkan tanggung jawab sejak dini.
Namun tantangan baru muncul di era pasca kebenaran, ketika opini publik lebih banyak dibentuk oleh emosi dan keyakinan personal daripada fakta objektif. Dalam konteks hukum, fenomena ini mengancam objektivitas penalaran hukum yang seharusnya berlandaskan data dan rasionalitas. Jika dibiarkan, proses penemuan hukum akan kehilangan integritas epistemiknya akibat intervensi emosi, bias kognitif, dan disinformasi yang meluas di ruang sosial, politik, dan hukum.
Pertanyaan yang kini relevan adalah: Bagaimana hukum Indonesia akan beradaptasi di era disrupsi digital dan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga hukum?
Hukum masa depan tidak cukup hanya tegas; ia harus relevan, transparan, dan berorientasi pada kesadaran etis. Reformasi hukum harus berfokus pada integritas personal penegak hukum, pendidikan karakter hukum sejak dini, serta tata kelola yang berbasis akuntabilitas publik.
Hukum yang hidup adalah hukum yang tumbuh bersama kesadaran warganya, bukan hukum yang menakutkan, tetapi yang mendidik dan menumbuhkan rasa tanggung jawab. Ketegasan tanpa moralitas hanya melahirkan ketakutan, sedangkan moralitas tanpa kepastian hukum akan menimbulkan permisivitas.
Indonesia tidak kekurangan hukum; yang dibutuhkan adalah konsistensi, keteladanan, dan budaya hukum yang jujur terhadap nurani. Hanya dengan cara itulah hukum dapat menjadi bukan sekadar teks, melainkan napas moral bangsa.