Hermeneutika memiliki proyek utama yaitu pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis. Demikian disampaikan oleh Dr. Murdoko, SH, MH, dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Widya Mataram (UWM) pada Selasa (11/4) di Gedung FH UWM.
Salah satu tokoh hermeneutika adalah Jurgen Habermas, tokoh hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Horison pemahaman ditentukan oleh kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. “Rumusan Habermas dalam disiplin hermeneutika menarik karena hermeneutika yang awal mulanya berkutat pada wilayah idealisme bisa ditarik secara “paksa” turun untuk bisa memahami lapangan realisme-empiris,” tambahnya.
Lebih lanjut, dosen S2 FH UWM ini mengungkapkan bahwa proyek hermeneutika kritis Habermas secara gigih menentang positivisme. Oleh karena itu, sembari menolak untuk kembali ke pandangan ontologis dan epistemologis filsafat klasik, Habermas juga berusaha merumuskan ulang dan mempertahankan beberapa tesis utamanya, yakni ketidakterpisahan antara kebenaran dan kebaikan, kenyataan dan nilai, teori dan praktik.
“Salah satu upaya Habermas di sini adalah mengonstruksi teori kritis ini tetap dalam orientasi pada wilayah praktis. Praktis di sini adalah wujud emansipasi manusia. Dengan ini jelas, teori kritik tidak semata mengunggulkan acuan obyektivitas melainkan juga melibatkan peran para subyek,” tutupnya.
Humas@UWM