Indonesia resmi memiliki Presiden dan Wakil Presiden baru Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang dilantik pada Minggu (20/10) siang. Dalam pidato pelantikannya, Presiden Prabowo Subianto secara tegas menyinggung isu-isu strategis yang akan menjadi fokus utama pemerintahannya. Salah satu topik sentral adalah mengenai stabilitas ekonomi dan ketahanan pangan, dua pilar yang menurut Prabowo sangat krusial bagi keberlanjutan pembangunan Indonesia dalam jangka panjang. Dengan berbagai tantangan yang akan dihadapi pemerintahan baru ini, Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita menyelenggarakan diskusi akhir pekan bertajuk “Isu-isu Krusial yang Dihadapi Pemerintahan Prabowo Subianto: Bidang Ekonomi dan Pangan.”
Diskusi yang dihadiri sekitar 300 peserta ini dilaksanakan secara online melalui platform Zoom pada Minggu (20/10) malam dan menghadirkan tiga narasumber yang memiliki berbagai sudut pandang yaitu Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec., Rektor Universitas Widya Mataram dan Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah DIY, Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc., Ph.D., Rektor Universitas Paramadina sekaligus pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), serta Prof. Mangku Purnomo, M.Si, Ph.D., Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Diskusi ini dimoderatori oleh Prof. Dr. Tika Widiastuti, S.E., M.Si., Wakil Dekan I Fakultas Vokasi Universitas Airlangga.
Prof Edy membuka diskusi dengan menegaskan bahwa tantangan yang dihadapi Indonesia di sektor ekonomi, pangan, dan energi lebih terkait dengan tata kelola negara. "Masalah utama di Indonesia bukan semata-mata masallah teknis, melainkan bagaimana prinsip-prinsip tata kelola dan hukum diterapkan. Indonesia memang kaya sumber daya alam, tapi kenyataannya Indonesia masih terjebak sebagai negara berpendapatan menengah," ujarnya. Beliau juga menyinggung perbandingan dengan negara tetangga. "Coba lihat Singapura. Mereka tidak punya sumber daya alam, tapi pendapatan per kapita mereka jauh lebih tinggi dibanding Indonesia," tegas Ketua MES DIY ini.
Menurut Prof. Edy, keberhasilan Prabowo dalam memimpin sangat bergantung pada keberaniannya untuk memberantas korupsi dan memperbaiki tata kelola. "Prabowo harus jadi pemimpin yang kuat dan bersih. Jika tidak ada perubahan signifikan dalam tata kelola negara, swasembada pangan akan tetap jadi mimpi. Selama ini, pemerintah hanya punya political will, tapi belum ada political action," tambahnya.
Prof Edy menekankan jika janji-janji Prabowo mengenai pemberantasan korupsi dari berbagai tingkatan mampu diwujudkan, Indonesia akan mampu mengatasi sejumlah persoalan ekonomi yang selama ini menjadi kendala. “Penurunan angka korupsi akan meningkatkan efisiensi dan daya saing Indonesia, yang tercermin dari membaiknya Incremental Capital Output Ratio (ICOR),” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof. Edy menegaskan bahwa, “penerapan prinsip-prinsip good governance, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, serta penegakan hukum dan konstitusi menjadi necessary condition bagi pemerintahan Prabowo-Gibran untuk bisa berhasil”. Dengan tata kelola negara yang baik, Indonesia akan mampu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi yang ada.
Sementara itu, Prof. Didik mengkritisi target ambisius yang dicanangkan pemerintahan Prabowo terkait pertumbuhan ekonomi. "Target pertumbuhan 8% itu sangat sulit dicapai, apalagi dengan warisan dari pemerintahan sebelumnya. Infrastruktur memang sudah ada, tapi itu tidak cukup tanpa adanya leading sector industri yang didukung teknologi tinggi," kata Prof. Didik.
Ia juga mengingatkan tentang penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia yang berdampak pada lemahnya konsumsi, komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi. "Kontribusi konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi melemah karena kelas menengah kita terus menurun. Ini masalah besar yang harus dihadapi pemerintah sekarang," tambah Rektor Universitas Paramadina tersebut.
Salah satu pendiri INDEF ini juga menyatakan bahwa daya saing ekonomi Indonesia masih kalah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. "Indikator ekonomi Indonesia, mulai dari industri, ekspor, hingga rasio pajak, masih tertinggal dibanding negara-negara seperti Vietnam dan Malaysia," tegasnya.
Dari sudut pandang sektor pertanian, Prof. Mangku menjelaskan bahwa sektor ini mengalami stagnasi sejak tahun 1980-an. "Pada era 1970-an, sektor pertanian sangat berkontribusi terhadap PDB. Tapi, sejak 1980-an, kontribusinya cenderung stagnan, bahkan menurun. Minimnya investasi dan dukungan infrastruktur keuangan menjadi penyebabnya," ungkapnya.
Menurut Prof. Mangku, minimnya investasi di sektor pertanian dan infrastruktur penunjang yang belum memadai membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk membangun ketahanan pangan yang kuat. "Investasi di sektor pertanian masih sangat minim. Padahal, sektor ini sangat penting untuk membangun ketahanan pangan nasional," ujar Prof. Mangku.
Ia juga menyoroti isu kerusakan lingkungan, konsolidasi sumber daya alam, isu kerusakan lingkungan, hingga sumberdaya. "Isu sumber daya manusia juga menjadi tantangan serius. Jika hal ini tidak segera ditangani, sulit bagi Indonesia untuk membangun sektor pertanian," lanjut Dekan Fakultas Pertanian UB tersebut.
Diskusi ini menjadi ruang bagi para akademisi berbagi pandangan dan gagasan untuk pemerintahan baru dalam menghadapi tantangan krusial, khususnya di bidang ekonomi dan pangan.
©HumasUWM